Tautan-tautan Akses

Israel Rebut Sisi Gaza dari Penyeberangan Rafah; AS Berharap Ada Kemajuan dalam Perundingan Gencatan Senjata


Warga Palestina memeriksa sebuah ramah yang hancur akibat serangan Israel di Rafah, selatan Jalur Gaza, pada 7 Mei 2024. (Foto: Reuters/Hatem Khaled)
Warga Palestina memeriksa sebuah ramah yang hancur akibat serangan Israel di Rafah, selatan Jalur Gaza, pada 7 Mei 2024. (Foto: Reuters/Hatem Khaled)

Gedung Putih pada Selasa (7/5) berharap Israel dan Hamas bisa menutup celah dalam perundingan gencatan senjata, ketika Israel memperingatkan bahwa pihaknya dapat “memperdalam” operasinya di kota Rafah, Gaza selatan, jika perundingan gagal untuk mendapatkan pembebasan para sandera.

“Penilaian yang cermat terhadap posisi kedua belah pihak menunjukkan bahwa mereka seharusnya dapat menutup kesenjangan yang ada, dan kita akan melakukan semua yang bisa kita lakukan untuk mendukung proses tersebut,” ujar juru bicara Dewan Keamanan Nasional John Kirby.

Militer Israel pada hari Selasa mengatakan bahwa pasukannya telah menguasai sisi Gaza dari perlintasan Rafah antara Jalur Gaza dan Mesir, sehari setelah memerintahkan puluhan ribu warga Palestina untuk meninggalkan daerah tersebut dan berkali-kali melancarkan serangan udara.

Operasi Israel tersebut dilakukan setelah berminggu- minggu para pejabat Israel mengatakan bahwa serangan di Rafah diperlukan untuk mencapai tujuan mereka guna mengalahkan Hamas, sementara Amerika Serikat, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan pihak-pihak lain memperingatkan bahwa melancarkan serangan di daerah yang padat warga sipil Palestina dapat menciptakan bencana kemanusiaan.

Kirby mengatakan bahwa para pejabat Israel telah mengindikasikan bahwa operasi tersebut berjalan pada ruang lingkup yang terbatas.

Namun Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant memperingatkan akan ada operasi yang lebih luas di Rafah kecuali jika pembicaraan gencatan senjata yang sedang berlangsung di Kairo menghasilkan pembebasan sandera yang ditahan oleh Hamas.

Sekretaris Jenderal PBB António Guterres mengatakan bahwa serangan ke Rafah akan menjadi “kesalahan strategis, bencana politik, dan mimpi buruk kemanusiaan” di saat kelaparan membayangi Gaza utara.

“Akan sangat tragis jika aktivitas diplomatik yang intens selama berminggu-minggu untuk perdamaian di Gaza tidak menghasilkan gencatan senjata, tidak ada pembebasan sandera, dan serangan yang menghancurkan di Rafah,” katanya kepada para wartawan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Ia mendesak pemerintah Israel dan Hamas untuk menunjukkan “keberanian politik” guna mengamankan kesepakatan dan menghentikan pertumpahan darah, serta mendesak

negara-negara yang memiliki pengaruh terhadap kedua belah pihak untuk menggunakannya.

Ia mengatakan bahwa dua jalur penyeberangan bantuan utama ke Gaza - Rafah dan Kerem Shalom - harus segera dibuka kembali.

Menteri Luar Negeri Yordania di platform media sosial X mengatakan bahwa alih-alih memberikan kesempatan negosiasi, Israel justru menduduki penyeberangan Rafah dan menutupnya untuk bantuan kemanusiaan. Ia menyerukan agar Dewan Keamanan PBB “bertindak tegas dan segera.” Dan dia menyerukan agar Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu “menghadapi konsekuensi yang nyata.”

Human Rights Watch dalam sebuah pernyataan hari Selasa mengatakan bahwa Israel tidak mematuhi “perintah yang mengikat secara hukum” dari Mahkamah Internasional karena “menghalangi masuknya bantuan dan layanan penyelamatan jiwa ke Gaza.”

Penutupan penyeberangan Kerem Shalom dan perebutan penyeberangan Rafah “menghalangi masuknya bantuan dan orang-orang meninggalkan Gaza melalui penyeberangan utama yang digunakan dalam beberapa bulan terakhir,” kata HRW.

Kebutuhan kemanusiaan di Gaza tetap sangat mendesak meskipun Israel mengizinkan lebih banyak truk bantuan memasuki wilayah tersebut dalam beberapa hari terakhir, namun peningkatannya, menurut HRW, “tidak seberapa dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan yang sangat besar.”

Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz, memposting di media sosial bahwa langkah Israel ke Rafah adalah untuk mencapai tujuan utamanya, termasuk pembebasan para sandera yang ditahan oleh Hamas dan kekalahan kelompok militan tersebut.

Perkembangan di Rafah terjadi setelah pengumuman Hamas pada hari Senin bahwa mereka telah menerima proposal gencatan senjata yang disusun bersama para perunding Mesir dan Qatar.

Kantor Netanyahu mengatakan bahwa proposal gencatan senjata tersebut “jauh dari tuntutan penting Israel,” namun Israel akan mengirim para perunding ke Kairo pada hari Selasa untuk melanjutkan pembicaraan.

Para pejabat Israel mengatakan kepada media bahwa proposal yang disetujui oleh Hamas bukanlah versi yang telah disetujui oleh Israel, tetapi tidak jelas soal perubahan apa yang terjadi, jika ada, dalam proposal tersebut.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan sekitar 1,2 juta orang berlindung di Rafah, dan lebih dari separuhnya adalah anak-anak. Banyak yang datang dari daerah lain di Gaza, mengungsi untuk mencari tempat yang aman dan berlindung karena serangan Israel melawan Hamas membuat sebagian besar Jalur Gaza hancur berantakan.

Perang Israel-Hamas dipicu oleh serangan teror Hamas pada 7 Oktober di Israel selatan yang menewaskan 1.200 orang dan menyebabkan penangkapan sekitar 250 sandera, menurut para pejabat Israel. Sekitar 100 sandera dibebaskan dalam gencatan senjata selama seminggu pada akhir November.

Menurut kementerian kesehatan yang dikelola Hamas, serangan balasan Israel di Gaza telah menewaskan lebih dari 34.700 warga Palestina, sekitar dua pertiga di antaranya adalah perempuan dan anak-anak. [my/rs]

Margaret Besheer berkontribusi dalam laporan ini. Sejumlah informasi lainnya diambil dari The Associated Press, Agence France-Presse dan Reuters.

Forum

XS
SM
MD
LG