Tautan-tautan Akses

KPK dan 2 Kementerian Diminta Tuntaskan Pembalakan Liar di Riau dan Kalimantan


KPK diminta untuk meneruskan penindakan hukum atas 14 perusahaan yang melakukan pembalakan liar di Riau (foto: ilustrasi).
KPK diminta untuk meneruskan penindakan hukum atas 14 perusahaan yang melakukan pembalakan liar di Riau (foto: ilustrasi).

Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas PMH) meminta Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk meneruskan penindakan hukum atas 14 perusahaan penebang kayu liar di Riau. Sedangkan Kementerian Lingkungan Hidup direkomendasikan agar mengajukan gugatan ganti rugi pencemaran terhadap 14 perusahaan tersebut.

Kepada pers di Jakarta, Kamis sore, anggota Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Mas Ahmad Santosa mengatakan, ada dua kasus di sektor kehutanan, yang menjadi fokus. Pertama, pengaduan masyarakat mengenai kasus 14 perusahan penebang kayu liar di Riau, yang dihentikan proses penyidikannya (SP3) oleh Kejaksaan Agung. Sejak disampaikan kepada media, pada Juni lalu, beberapa hasil temuan Satgas belum dijalankan.

“Seperti yang pernah disampaikan kita sudah melakukan koordinasi berkali-kali, baik di Riau maupun di Jakarta . Beberapa bulan yang lalu kita juga sudah melayangkan surat kepada Kapolri. Kita menganggap berdasarkan kajian yang mendalam dari kami, kasus terberat layak dilanjutkan. Dan surat kedua kepada KPK agar preseden yang sudah diputuskan MA atas nama Bupati Palalawan, dilanjutkan untuk kasus-kasus lainnya,” ujar Mas Ahmad Santosa.

Seterusnya, Mas Ahmad Santosa, meminta Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengajukan gugatan ganti rugi, atas kerusakan ekosistem akibat kegiatan produksi 14 perusahaan tersebut.

“Ketiga, kita juga mengirimkan surat kepada Menteri Lingkungan Hidup karena berdasarkan keterangan ahli ada kerugian yang cukup besar, terutama kerugian ekosistem, dan berdasarkan UU Menteri KLH memiliki kewenangan untuk mengajukan gugatan ganti kerugian terhadap 14 perusahan tersebut; berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup,” kata Mas Ahmad Santosa selanjutnya.

Anggota Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Mas Ahmad Santosa (foto: dok).
Anggota Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Mas Ahmad Santosa (foto: dok).

Selain itu, Santosa memaparkan temuan baru pada kegiatan pertambangan dan perkebunan, yang diduga tidak sesuai dengan prosedur dan melawan hukum. Kasus ini terkuak setelah dilakukan pencocokan data dengan Kementerian Kehutanan, mayoritas terjadi di Riau dan Kalimantan.

Mas Ahmad Santosa menjelaskan, “Ini (baru) dugaan sementara. Oleh sebab itu kita sudah sampaikan kepada Kementerian Kehutanan, melalui Dirjen PHKA (Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam) memiliki network jaringan penegak hukum. Minggu lalu kami bertemu Dirjen PHKA sedang ditindaklanjuti.”

Sementara, Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Darori, selaku ketua tim investigasi gabungan, kepada VOA Kamis malam, mengatakan kasus-kasus itu terjadi pada masa transisi reformasi menuju otonomi daerah.

Para gubenur mengaku tidak mendapatkan laporan dari para bupati, karena menganggap daerahnya sudah otonom. Jumlah lahan ilegal yang diserobot nyaris mencapai 10 juta hektar.

“Seluruh provinsi di Kalimantan, Sulawesi Tenggara, dan Riau telah dilakukan ekspos terhadap para bupati dan Gubernur, ternyata hasilnya mengejutkan karena ada pengunaan kawasan hutan untuk perkebunan dan tambang, baik yang sudah dikerjakan maupun yang akan dikerjakan luasnya hampir 10 juta hektar dan kasusnya (yang sudah diselidiki) lebih dari 1000 hektar,” ungkap Darori.

Seharusnya, kata Darori, izin tetap harus diperoleh dari Menteri Kehutanan. Penyidikan tetap dilakukan di Kalimantan Timur milik pengusaha Malaysia . Di Sumatera Utara sudah ada 9 orang yang ditangkap.

“Penyalahgunaan wewenang dan membuka izin lahan perkebunan tanpa izin itu pidana, hukumannya denda Rp 5 Milyar dan kurungan maksimal 10 tahun,” demikian menurut Darori.

XS
SM
MD
LG